IDEA & SCENARIO

Awal tahun 80-an tak ada yang memperhitungkan seorang pengayuh becak dalam perlombaan meretas aspal. Tahun 1963 terlahir tepat 1 januari dan tercipta menjadi seorang pelari. Entah mengapa setelah usia 4 dasawarsa baru dilirik akan prestasinya. Itupun sempat diragukan kredibilitasnya.

Saat waduk Gajah Mungkur diresmikan dengan menggelar perhelatan lomba lari 42km Wonogiri. Atlit peltanas di turunkan, klub-klub lari turun gunung semua, namun seorang Darmiyanto yang berusia 43 tidak ada yang melirik sedikitpun.

Dia hanya memiliki kendaraan roda dua dan roda tiga, namun sayangnya tak bermesin. Dengan temannya yang bernama Manan, mencoba peruntungan untuk ikut berlomba di Marathon. Akhirnya sepeda onthel akan menjadi kendaraan yang akan mengantarkan mereka berdua ke Wonogiri yang berjarak lebih dari 60Km.

Di Lapangan pancasila mereka menyusun rencana gila untuk bersepeda menuju Wonogiri. Dengen perlengkapan untuk antisipasi masalah sepeda sudah siap, makan pukul 10.30 mereka berdua mulai mengayuh sepeda menuju Pasar Sapi lanjut menuju Veteran, Solo dan Wonogiri. Pukul 15.00 mereka mengakhiri petualangan jalan rayanya menuju start perlombaan.

Saat pendaftaran, kebetulan mereka bertemu dengan salah satu kepala desa di sana. Pak Kadespun terheran-heran, karena hendak ikut marathon harus beresepeda dulu dari Salatiga menuju Wonogiri. Darmiyanto dengan santai menjawab "kami ini lari untuk penggembira dan menyemarakan lomba saja". Singkat kata, 42km di selesaikan  dan untuk kelas Veteran usia diatas 40 tahun dia menjadi orang pertama yang menyentuh garis finish.

Lari adalah olah raga yang murah meriah, yang penting kaki sehat dan ada jalan saja, Begitu kata Darmiyanto. "lari itu ngga perlu necis, cukup kaos oblong dan celana kolor dan lari saja" saat membanding-bandingkan dengan olah raga lain. Selain lari, dia juga menyukai sepak bola. Selain sebagai selingan, sepak bola dijadikan untuk mendongkrak tenaga, keseimbangan dan kecepatan. Klub tiga roda menjadi klubnya, sebab semua pemainnya adalah pengayuh becak di Salatiga.

Setiap hari dilaui dengan berlatih dan berlatih. Rumahnya yang ada di luar kota Salatiga di tempuhya dengan berlari menuju pangkalan becaknya di jalan Pemotongan. Jarak minimal yang ditempuhnya adalah 12Km untuk sampai ditempat  mangkalnya. Sehari jarak 24km ditempuhnya untuk berangkat dan pulang kerja. Jika ada perlombaan, dia akan menambah jarak porsi latihannya.

Tahun 1983, di jakarta dia mengikuti perlombaan maraton bergengsi. Start dari Taman Mini dan finish di Bogor akan ditempuhnya dalam lomba ini. Usia yang tak lagi muda, dia masuk dalam kelas veteran yakni 40 tahun ke atas. Untuk Indonesia dia menjadi finisher yang pertama, sedang Asia dia menjadi yang nomer 2 setelah Jepang dan nomer 3 oleh saingannya dari India.

Setelah sukses dengan Jakarta marathon kini dia mendapat undangan untuk Bandung Nike marathon. Dengan persiapan yang baik dia menjadi yang pertama untuk kelas veteran. Harapan juara dan membawa pulang medali dan tabanas pupus sudah saat didiskualifikasi oleh panitia. Alasan panitia, karena lomba ini untuk lokal bandung, sedang dia ketahuan berasal dari salatiga. Akhirnya  sepasang sepatu nike, baju training dan uang saku untuk pulang yang dia dapatkan, namun itulah kebanggaan.

"Tanpa prestasi jangan harap diberangkatkan", katanya sebagai ungkapan bahwa atlit jika ingin diberangkatkan bertanding harus memiliki prestasi. "Berbeda dengan rekreasi, tanpa prestasi tetap bisa berangkat karena punya uang. Saya harus berprestasi karena tak memiliki uang" katanya agar bisa terus mengikuti perlombaan.

Untuk pertama kalinya dia mewakili Indonesia untuk lomba atletik master di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun 1990. Tidak tanggung-tanggung, 5 medali di sabet dan dibawa pulang ke Indonesia. Kategori 10.000m, 5.000m, 1.500m dan 800m dia menjadi yang nomer satu. Untuk setengah marathon dia tak berdaya saat tersesat di jalan raya, karena salah jalur saat tiba di pertigaan jembatan layang. Karena tidak mengerti bahasa Inggris, dia lempeng saja berlalu sampai ada motor besar yang mencegatnya untuk berbalik arah. Podium 2 dia dapatkan, padahal di kelas marathonlah dia sebagai penguasanya.

Di perlombaan yang sama, ditempat dan tahun yang berbeda dia kembali menempati podium 3 untuk kelas marathon. Lomba yang di adakan di Singapura ini adalah lomba yang membuat dia menjadi patang arang di tengah jalan. Bukan karena tersesat dia menjadi demikian, tetapi karena tidak ada marshal atau pengawal yang mengikutinya. Keterbatasan akan bahasa Inggris menjadi penghambat dia dalam mengetahui tiap kilo meter yang ditempuhnya. Kilo meter adalah strategi bagi seorang pelari marathon dalam mengatur taktik. Kecepetan, kekuatan, daya tahan semua harus di perhitungkan dalam tiap kilometernya. Akhirnya naik turun peringkat di kilo meter terakhir memaksa dia berdiri di podium nomor 3.

Cerita menarik dia alamai saat mengikuti 10Km dalam rangka ulang tahun Rumah Sakit Dokter Karyiadi Semarang. Bukan finish nomor 8 yang dia ceritakan, sebab dia berani mengklaim 10Km berani masuk 10 besar. Saat dia berlari dibuntuti oleh seseorang dengan dengan menggunakan sepeda motor. Sebuha botol di sodorkan oleh seseorang, agar dia mengisinya dengan urin. Ternyata orang yang membuntutinya ingin mengetest dia melakukan doping atau tidak. Dari hasil doping menyatakan Darmiyanto negatif. Sambutan luar biasa untuk orang yang sudah senja usia bisa mempertahankan kebugaran dan kekuatan fisik serta daya tahannya.

Becak adalah kehidupannya dan lari adalah jiwanya jika diartikan pekerjaan dan hobinya. Becak bukanlah beban hidupnya, tetapi jalan untuk menghidupi keluarganya. Memang tak seberapa penghasilan dari mengayuh becak, namun nilai-nilai kehidupan ada di balik roda 3 tak bermesin ini. Bersama rekan seprofesinya mereka memiliki ikatan sosial yang baik. Dimata pelangganyaa, Darmiyanto adalah sosok yang santun dan bersahaja. Tak ada tarif yang pasti, namun kerelaan penumpangnya adalah harga yang akan diterimanya dengan iklas. Dari becak dia mengadu keberuntungan hidupnya saban harinya, namun sebelum sesudahnya mengayauh dia akan berlari dulu sejauh 12km.

Tinggal menumpang di rumah mertua adalah beban hidup dia yang sebenarnya. Kini sebuah harapan sederhananya untuk masa depannya adalah memiliki rumah sendiri. Namun, di balik masa depannya yang tak jelas dia tetap memiliki tekad yakni akan berlari sampai kapanpun. Hanya senang, semangat dan niat yang membuat saya terus berlari. Yo ben tukang becak, sing penting prestasi segudang.

0 komentar :

Posting Komentar